26 Apr 2011

aku mencintaimu karena Allah ??


Hai kawan, ada sebuah cerita bagus dan penuh makna nih dari cuplikan buku Jalan Cinta Para Pejuang- nya Salim A. Fillah. Ceritanya tentang cinta lho.. Nih ceritanya kaya ginii. Yuk sama-sama disimak…

Ada sebuah kisah cantik yang dikutip oleh Syaikh ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan dalam Taujih Ruhiyah-nya. Kisah menarik ini, atau yang semakna dengannya juga termaktub dalam karya agung Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang khusus membahas para pecinta dan pemendam rindu, Raudhatul Muhibbin.

Ini kisah tentang seorang gadis yang sebegitu cantiknya. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya dan bisa dihitung dengan jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman surga.

Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya dan belum pernah tergambar wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa sang pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaknya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri. Bahwa ketaqwaannya telah berulangkali teruji. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu.

Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak, terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipinya,tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti apakah cintanya bersambut sama.

Maka ditulisnya surat itu, memohon bertemu.

Dan ia mendapat jawaban. “Ya”, katanya.

Akhirnya mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. 

Dan sang gadis yang mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya; kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya,. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikannya berbicara, karena demikianlah kebiasaan yang ada pada keluarganya.

“Maha Suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, “Yang telah menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan.”

Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. “Andai saja kau lihat aku”,  katanya, “Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.”

“Betapa inginnya aku”, kata si gadis, “Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.”
Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. “Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan.”

Si gadis ikut tertunduk. “Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan, “Telah lama aku dilanda rindu, takut dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegub. Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan.”
“Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. “Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”

Kita cukupkan sampai di sini sang kisah. Mari kita dengar komentar Syaikh ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan tentangnya. “Apa yang kita pelajari dari kisah ini?”, demikian beliau bertanya. “Sebuah kisah yang indah. Sarat dengan ‘ibrah dan pelajaran. Kita lihat bahwa sang pemuda demikian fasih membimbing si gadis untuk menghayati kesucian dan ketaqwaan kepada Allah.”

“Tapi”, kata beliau memberi catatan. “Dalam kisah indah ini kita tanpa sadar melupakan satu hal. Bahwa sang pemuda dan gadis melakukan pelanggaran syari’at. bahwa sang pemuda mencampuradukkan kebenaran dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas da’wah dalam atmosfer yang ternoda. Dan dampaknya bisa kita lihat dalam kisah; sang gadis sama sekali tak mengindahkan da’wahnya. Bahkan ia makin berani dalam kata-kata; mengajukan permintaan-permintaan yang makin meninggi tingkat bahayanya dalam pandangan syari’at Allah.”

Ya. Dia sama sekali tak memperhatikan isi kalimat da’wah sang pemuda. Buktinya, kalimatnya makin berani dan menimbulkan syahwat dalam hati. Mula-mula hanya mengagumi wajah. Lalu membayangkan tangan bergandengan, jemarinya menyatu bertautan. Kemudian membayangkan berbaring dalam pelukan. Subhanallah, bagaimana jika percakapan diteruskan tanpa batas waktu?
“Kesalahan itu”, kata Syaikh ‘Abdullah Nashih ‘Ulwan memungkasi, “Telah terjadi sejak awal.” Apa itu? “Mereka berkhalwat! Mereka tak mengindahkan peringatan syari’at dan Pesan Sang Nabi tentang hal yang satu ini.”

*Astagfirullah, sebegitu halusnya syaithan menggoda manusia. Teringat tausiyah dari salah seorang ikhwan “Akhi, hati-hati dalam pengingatan antum kepada akhwat. Karena rawan digunakan syaithan untuk melenakan iman kita. Jika antum mencintainya karena Allah dan antum percaya bahwa Allah akan memberikan jodoh yang terbaik untuk antum, maka dalam kekhawatiran antum, berdoalah kepada Allah untuk menjaganya. Semakin antum mencintainya karena Allah, maka semakin antum menitipkannya kepada Allah. Tetapi jika cara penjagaan dan pengingatan antum langsung ke sang akhwat, antum perlu menanyakan kepada diri antum, cinta yang diridhoi-Nya atau ternyata itu semua hanyanlah nafsu belaka.” Wallahualam bisshowab.. mudah-mudahan dapat menjadi pelajaran berharga penuh manfaat untuk kita semua..

8 Apr 2011

for women : Berjilbab? Siapa takutt....


Di suatu waktu ada diskusi menarik dalam sebuah acara sarasehan yang diadakan oleh FPISB Universitas Islam Indonesia. Sarasehan itu bertajuk jilbab syar’i, yang bertujuan mencari masukan dan gagasan dalam perumusan ketentuan busana muslimah bagi mahasiswi-mahasiswinya. 

Dalam diskusi itu, tersebut lah nama dua orang narasumber, Salim A. Fillah dan seorang dosen dari internal fakultas. Salim A. Fillah dikenal sebagai penulis muda berbakat yang pandai memadupadankan dalil dengan kisah dan norma dengan hikmah dalam seni sastra yang indah. Sedangkan sosok dosen dari internal fakultas itu adalah seorang ibu yang rendah hati, psikolog lulusan perguruan tinggi terkemuka di AS.
Dalam sarasehan itu, sang ibu dosen rendah hati tersebut menyampaikan pengalamannya dalam berbusana muslimah dan tantangannya –baik di Indonesia dahulu maupun di Barat kini- serta berbagai nuansa jilbab yang ditemuinya di beberapa Negara yang pernah dikunjungi.

Acara sarasehan itu kian menarik tatkala terjadi diskusi antara narasumber dengan para audiens. Terlebih ketika ada seorang penanya yang sangat serius bertanya disertai dengan kitab –Lubaabun Nuqul fii Asbaabin Nuzuul- karya Imam As-Suyuthi. Pertanyaan canggih pun terlontar dari dirinya. “Kalau kita baca latar belakang turunnya Surat Al Ahzab 59, maka kita akan menemukan konteksnya. Dan saya kira pemahaman akan konteks, akan membuat kita lebih jernih dalam mengimplementasikan ayat ini”.

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al Ahzab : 59)

“Pada waktu itu”, lanjut kata si penanya, “ Ada seorang muslimah yang diganggu oleh beberapa pemuda. Maka dia mengadu kepada Rasulullah hingga beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam pun memanggil mereka. Ketika ditanya mengapa mengganggu, mereka menjawab bahwa muslimah itu tidak menunjukkan cirri muslimah, tak dikenali entah merdeka atau budak. Maka turunlah ayat ini yang konteksnya adalah identitas dan perlindungan. Jadi intinya bukan jilbabnya, tetapi agar ia tidak diganggu. Nah, di masa sekarang ketika para muslimah tidak diganggu, masih relevankah jilbab?”.

Sungguh sebuah tanya yang tak dinyana. Pada saat itu, sang Ibu narasumber kita menjadi emosional menjawabnya. Yah, memang demikian adanya, karena kalimat yang dibawakan si penanya itu terlalu dalam perih menggores hati seorang muslimah yang memperjuangkan jilbabnya ketika hampir semua wanita tiarap terhadap tindakan represif penguasa di tahun 80-an hingga 90-an.

Setelah beberapa waktu, akhirnya Salim A. Fillah diberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan itu. Beliau berpendapat, pertanyaan itu tidak sekedar soal tetapi menyertakan paradigma fiqh liberal. Dalam kasus penanya tersebut, beliau menyampaikan bahwa, pertama, kaidah fiqh-nya mengatakan “Hukum diambil dari keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab”. Jadi kalau lafazh umumnya menyeru para istri Nabi, putrid-putrinya dan wanita-wanita mukmin untuk berjilbab, maka demikianlah hukumnya.

Yang kedua, bahwa para ‘ulama kita membedakan antara ‘illat (alasan hukum) dengan hikmah dalam suatu hukum. ‘Illat wajibnya jilbab adalah adanya ayat yang tadi dibacakan. Sedangkan hikmahnya, di antaranya disebutkan yaitu agar lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Hilangnya hikmah tidak meniadakan hukum, karena hukum bertalian dengan ‘illat, bukan dengan hikmah.

Yang ketiga, beliau menyampaikan bahwa sampai sekarang pun hikmahnya tidak hilang; ada perasaan lebih aman pada para wanita muslimah ketika memakai jilbab. Ketika mereka menyempurnakan perintah Allah dalam jilbab, Allah pun melindungi mereka dari berbagai gangguan. Demikian pemaparan jawaban dari Salim A. Fillah. Jawaban yang dirasa mengena terhadap pertanyaan yang terlontar.

*diceritakan kembali dari buku "Jalan Cinta Para Pejuang" nya Salim A. Fillah. Mudah-mudahan cerita tersebut akan menambah keyakinan untuk para muslimah yang sudah berjilbab syar'i dan mengispirasi para muslimah lain yang belum berjilbab untuk segera berjilbab syar'i.