31 Mar 2011

di depan gerbang Damaskus



Syekh Ahmad tampak sedang galau. Wajahnya murung, matanya merah, tidak peduli dengan orang-orang yang duduk di sekelilingnya. Suasana sunyi senyap. Mereka yang hadir di tempat itu merasakan suasana yang sangat mencekam, berselimut duka mendalam. Syekh Ahmad menarik nafas panjang. Kelopak matanya basah dengan air mata.


Terbayang kembali jejak-jejak masa lalunya yang kelam dipenuhi dengan darah dan air mata. Setiap detail dari peristiwa pahit yang terjadi saat itu masih melekat kuat dalam memorinya, tercetak dengan huruf besar dan warna yang sangat mencolok.


Beliau kembali mengenang peristiwa yang terjadi lebih dari tiga puluh tahun silam, saat beliau masih kecil. Pasukan tartar kala itu menyerang bagai angin taufan pemusnah dari timur, menghancurkan apa saja yang dilaluinya. Tidak ada satu kota dan perkampungan pun yang mereka lewati kecuali menjelma menjadi lautan api dan darah. Darah menganak sungai, jalan memerah darah. Mereka bahkan mampu membangun piramida besar dari jutaan kerangka tubuh manusia yang mereka sembelih.


Syekh Ahmad mengenang ayahnya, ibu dan anggota keluarganya yang lain, bersama dengan jutaan kaum muslimin meninggalkan negeri mereka untuk menghindari aroma kematian yang ditebar pasukan tartar yang bengis dan tidak mengenal arti kemanusiaan. Lari dari cengkeraman kematian demi mempertahankan nyawa mereka.


Beliau masih ingat dengan baik saat-saat pengungsian itu, beliau yang masih polos melontarkan pertanyaan ini kepada bundanya, “Mengapa kita harus meninggalkan kampung halaman kita, Bunda?”.
Namun, pertanyaan itu tidak terjawab selain oleh teriakan ketakutan yang menggema di sana-sini dan tatapan kepanikan yang demikian jelas menyelimuti wajah para pengungsi. Beliau tidak mendengar kecuali sebuah kata yang menciptakan ketakutan dan kepanikan luar biasa di tengah mereka, membawa kematian, darah dan kebinasahan: “Pasukan Tartar…! Tartar….! Tartar….!


Syekh Ahmad lalu menghapus butiran air mata yang mengalir pada kelopak matanya. Bagaimana mungkin beliau tidak merasa sedih? Tragedi yang terjadi sejak tiga puluh tahun silam, kini seakan bangkit kembali ketika seorang Fazan –panglima pasukan tartar- dengan balatentaranya siap merobohkan gerbang kota Damaskus, bagai serigala lapar dengan air liur yang terus menetes, siap menerkam mangsanya. Penduduk akhirnya meninggalkan negeri tersebut.


Namun, di tengah bayangan kelam itu, tiba-tiba terbesit secercah harapan. Wajah Syekh Ahmad yang sedari tadi diselimuti kesedihan dan kegalauan, tampak mulai berseri walau beliau tetap menyembunyikan senyum kegembiraan itu.


Tidaklah pantas seorang Syekh mengecap sekeping kebahagiaan dalam hatinya saat beliau mengingat berita yang santer terdengar dari para musafir bahwa Sultan Nashir dengan pasukannya sedang dalam perjalanan menuju Syam untuk membebaskan mereka dari cengkeraman bangsa tartar. Sultan Nashir bersama pasukannya kini menjadi harapan utama yang membangkitkan semangat bangsa Arab dan kaum muslimin yang menanti keselamatan dan kemenangan dari tangan mereka


Perasaan lega kini tampak pada wajah Syekh Ahmad Taqiyuddin bin Taimiyah. Dengan suara jelas penuh percaya diri, beliau berkata, “Tahukah kalian, masalah besar apa yang menghantui kita saat ini?”
Pandangan mata semua orang yang hadir dalam majelis itu, kini berfokus pada diri Syekh Ibnu Taimiyah, sembari berusaha menebak maksud ucapan beliau yang biasanya disertai dengan gagasan actual yang tidak terduga.


“Menurut saya, masalah utama yang menimpa kita saat ini berasal dari manusia-manusia buas yang sedang mengepung kita di luar kota, mengendap bagi ular berbisa menjijikan yang siap menghisap darah kita.”
Jawaban dari salah satu hadirin hanya membuat Syekh Izzudin menggeleng kepala. “Bukan. Bukan mereka yang saya maksud, wahai saudaraku.”


“Kalau begitu, apa maksud Anda, wahai Syekh?”


“Maksud saya bahwa perpecahan kita adalah awal dari segala petaka dan sumber kekalahan.”
Syekh Ibnu Taimiyah diam sejenak, lalu dengan nada sedih beliau berkata, “Coba perhatikan! Kaum muslimin sekarang terpecah dalam pemerintahan-pemerintahan local yang berdiri sendiri. Adanya perbedaan madzhab dan system politik telah merobek persatuan bangsa Arab. Dan, jangan lupa pertarungan besar sedang berlangsung saat ini antara para penguasa dan pemimpin agar mereka dapat mencapai tampuk kekuasaan tertinggi walaupun dengan cara-cara yang curang. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh apabila pasukan Salibis berhasil menaklukan beberapa wilayah Syam.”


Seykh Ahmad berhenti sejenak, mengeringkan peluh yang menetes dari keningnya. Beliau melanjutkan ucapannya.......


*tungguin ucapan selanjutnya dari Syekh Ahmad yaa... Insya Allah ada di post selanjutnya...